Mas ridho,jika kamu ingin menikah lagi,” tutur Mas Eza suamiku,
Tatapannya ringkih menahan perih. Tak ku hiraukan ucapan Mas Eza yang melantur ke mana-mana.
Ikatan rumah tangga bukanlah saling meninggalkan saat Masalah datang.
Aku dan Mas Eza sudah menikah dan di karunia seorang putri yang cantik.
Dengan sekuat tenaga aku membopong Mas Eza ke ruang kesehatan kami di bawah dan kurawat semaksimal mungkin,tapi apa yang terjadi. Kesehatan Mas Eza semakin melemah.
Malam dengan hujan yang mengguyur bumi dengan deras mengundang beribu ketakutan dalam dadaku. Aku terus berdoa dan kutitipkan anakku pada Ayah dan Ibu.
Aku berangkat sendiri ke rumah sakit di mana aku
bekerja.
Aku lelah, tapi demi baktiku pada suami tumpuan aku mendapat surga Allah yang Maha Pengasih. Pasti kulakukan setiap cara.
“Pasti kesehatan Mas Eza akan kembali pulih,” lirihku dengan Mas Eza yang sudah tak sadarkan diri.
Perjuangan Mas Eza dalam mendapatkanku tak bisa kulupakan,malah hal itu menjadi semangat saat merawat mas Eza untuk berjuang dalam melawan sakitnya.
Tubuhnya kini kurus kering,kelopak matanya sayu
hitam,kakinya membengkak jika penanganan tak segera dilakukan.
Aku duduk di samping pembaringan Mas Eza, dinding rumah sakit begitu jelas menampak murung. Dadaku sesak
melihat laki-laki yang tak pernah mengeluh,kini hanya terbaring melawan detik-detik kematian.
Dalam setiap sujud,kulangitkan doa terbaik atas
kesembuhan Mas Eza.
Dengan gelar dokter yang kusandang terus berusaha semampuku menyembuhkan Mas Eza dibantu semua rekan-rekanku dan rekan-rekannya Mas Eza.
***
Setelah lulus S1, aku bekerja dengan gelar dokter dan
Mas Eza malanjutkan study-nya untuk mendapat gelar magister di universitas yang sama di Yogyakarta.
Janji yang diberikannya kepadaku dia tunaikan tanpa basa-basi.
Setelah lulus dan menjadi dosen,Mas Eza menikahiku dengan memberikan banyak kebahagiaan yang membuatku
sangat menyayangi Mas Eza, sampai keadaan ini tiba.
Mas Eza terus-menerus memintaku untuk menikah lagi,
bahkan dia juga menyiapkan laki-laki yang sama sepertinya.
Bisa saja aku meng-iyakan, tapi aku tidak mau. Ada putri cantik yang menunggu kami datang. Aku tidak mau hal ini menjadi alasan kami berpisah.
“Aku mencintai Mas Eza dalam keadaan apa pun. Aku mencintai Mas Eza karena Allah. Mas Eza harus semangat melawan rasa sakit ini. Demi kami dan demi cita-cita kita mas. Apa mas mau menerima dengan begitu saja.
Katanya mas mau membuka rumah sakit untuk mereka yang tidak sanggup bayar? Ayo … kita sama-sama berjuang
untuk melewati semua ini. Aku akan mendampingi mas bagaimanapun keadaannya,” tuturku dalam peluk mas Eza,mataku menatap wajah yang kini tak sekencang dulu.
Mas Eza tersenyum menatapku, air mengalir di sudut mata sayunya. Dia mengecup keningku dengan pelan, rasa haru tidak
bisa kutahan.
Lega sekali mendapati Mas Eza tersenyum.
Dorongan dari orang-orang yang tidak tahu diri
membuatku kesal.
“Kamu menikah lagi saja, lihat suamimu sekarang dia hanya terbaring dan dengan penyakitnya itu tidak ada kemungkinan untuk sembuh lagi.”
Aku tinggalkan mereka, tanpa kata-kata apa pun lagi.
‘Jika karena alasan ini saja kami berpisah. Sungguh aku menjadi istri tidak tahu diri. Aku mencintai Mas Eza dalam
keadaan apa pun. Apa pun yang dikatakan banyak orang,aku tidak peduli itu,karena aku mencintai suamiku karena Robb-ku,’ batinku memberi semangat dalam setiap rongga
tubuhku.
***
Kehangatan pagi menyapaku dengan lembut, kulihat ibu dan ayah membawa putri kecil kami yang cantik dengan kepang duanya.
Dia berlari ke arahku, berteriak, “Mamaaahhh ….”
Sungguh keceriannya membuatku berseri,putri kecil
kami dia begitu perhatian. Tidak rewel selama aku merawat mas Eza. Raut wajahnya tampak bahagia, mata sipit dan
hidung mancung membuatku gemas.
“Aqila rindu sama Mamah juga Papah. Papah masih
tidur ya, Mah,” ucap Aqila membuatku terdiam.
“Iya anak cantik mamah. Jangan ganggu papah lagi tidur, ya.” Aku memegang erat tanganya.
“Mah … Aqila mau ketemu papah. Bolehkan, Mah?”
ucap Aqila.
Ibu dan ayah menatap kami penuh haru. Ibu terlihat menyeka mata yang sedikit menjatuhkan bulir kepedihan.
Aku tahu Ayah dan Ibu begitu tak tega melihat anak semata wayangnya terus menerus merawat suami juga pasien-pasien yang begitu banyak. Akan tetapi, Ibu dan Ayah juga mengerti posisiku sebagai seorang istri.
Aqila dibawa kakeknya ke lorong dekat ruangan mas Eza dirawat. Ibu memelukku dan itu membuatku terjatuh
dalam peluknya.
“Yang kuat ya, Nak. Kamu kuat menjalani ini semua,”
ucap Ibu mengelus pundakku.
Aku mengangguk mendengar kata-kata Ibu.
“Kita makan dulu,” ucap Ibu.
Aku memangku Aqila, kami bersama memakan
bekal yang sudah Ibu siapkan di ruanganku. Allah Masih
memberiku nikmat untuk bisa berkumpul bersama.
***
Sudah begitu lama Mas Eza terbaring dengan selang
dan infusan yang terpasang.
Sakit ginjal yang sudah sangat parah Mas Eza
sembunyikan dari kami semua. Orang tua Mas Eza sudah
lama berpisah. Mas Eza tumbuh dengan perjuangan yang
aku sadari tidak mudah. Beberapa hal membuat aku tidak
menyangka,mas Eza bisa mencapai apa yang dia cita-citakan.
Selama mengeyam pendidikan, kami saling menyemangati satu sama lain, tanpa berpikir apa pun lagi.
Banyak orang yang mendoakan hubungan kami, tapi ada juga kerikil-kerikil tajam membuat hubungan kami akan
berakhir. Akan tetapi, kasih sayang mas Eza membuat kami
bertahan sampai sekarang.
***
Masih di tempat yang sama, di ruangan VIP yang
disediakan rumah sakit. Aku ingin memberikan yang terbaik
untuk kesembuhan suamiku.
Tanpa berhenti, aku terus menguatkan mas Eza dan
berdoa untuk kesembuhannya. Hampir saja aku putus asa dengan keadaan yang menurutku tak mungkin untuk Mas Eza sembuh.
Mas Eza dengan keadaanya tak pernah meringis
kesakitan,malah dalam apa pun dia tersenyum. Memberiku acungan jempol agar aku terus semangat.
Banyak hal menjadi penyemangat dalam merawat Mas Eza.
“Sudah lama Mas Eza terbaring lemah di ruangan ini.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi, hanya transflantasi
ginjal saja yang akan menyelamtkan Mas Eza. Aku pasrah ya, Robb atas semua ketetapanmu. Jika Masih ada takdir untuk dia bersama kami, tunjukkanlah jalannya, jika tidak
aku menerima semua takdir-Mu.” Aku menengadah berdoa
untuk kebaikan Mas Eza.
Badanku terasa leMas, aku tertidur di atas sejadah.
Setelah satu jam, tepat pukul 5 pagi aku dikagetkan
dengan suara ketuk pintu. Aku langsung berdiri, membuka pintu. Ternyata asistentku
“Bu Reina, nanti ada yang mau bertemu dengan Ibu.
Jam berapa Ibu siap,nanti akan saya kabarkan ulang,”ucap asistenku.
“O, begitu. Baiklah, nanti pukul 8 pagi saja, ya,” jawabku.
“Baik, Bu. Ibu mau sarapan apa? Biar saya pesankan.”
“Tidak perlu, karena hari ini saya sedang puasa.”
“Baik, Bu. Saya permisi dulu. Assalamu’allaikum.”
Aku tidak terlalu memikirkan siapa dan mau apa dia yang akan datang. Mungkin akan seperti orang orang pada umumnya. Ada yang aneh, ko aku bilang jam 8 pagi,padahal jam segitu adalah jam di mana mas Eza transfusi darah. Aku
tidak terlalu mengkhawatirkan, hanya 15 menit saja..
***
Sinar pagi masuk dengan lembut ke ruangan di mana mas Eza di rawat. Tidak lama kemudian, ada yang mengetuk
pintu dan membukannya dengan perlahan.
“O, kamu. Sudah datang?” tanyaku tanpa bertanya
apapun lagi.
“Sudah, Bu. Dia sedang menunggu di ruangan Ibu,”
jawab Nara, asistenku.
Tanpa pikir panjang, aku berpamitan dulu ke suamiku
lalu pergi.
“Maaf, menunggu lama, ya …” ucapku.
Ternyata seorang pria dan aku tidak tahu siapa dia.
“Baru sebentar, ko, Bu. Perkenalkan saya Rendy
temannya Eza suami Ibu,” tuturnya dengan penuh sopan
santun.
“MasyaAllah, Mas Rendy ini teman suami saya.
Sebentar, Mas Rendy sudah sarapan?” tanyaku. Seperti yang sudah diajarkan mas Eza jika ada yang bertamu. Semaksimal
mungkin kita berikan yang terbaik.
“Tidak perlu. Kebetulan saya sudah sarapan sebelum ke
sini,” jawabnya.
“O, begitu. Silakan diminum dulu tehnya.”
Dia hanya menganggukkan kepala.
“Bagaimana? Apa ada yang ingin disampaikan oleh mas Rendy kepada saya perihal mas Eza?” tanyaku tanpa bertele-
tele,karena aku harus menemani suamiku lagi.
“Jadi gini, Bu. Saya berniat akan mendonorkan ginjal saya untuk suami Ibu. Karena beliau sudah berperan sangat
luar biasa di dalam hidup saya, hingga saya Masih bisa hidup sampai sekarang,” jelasnya membuat aku mematung saking
kagetnya.
Beberapa lembar kertas yang kupegang terjatuh begitu
saja.
“Ya Allah, ya Robbi …,” ucapku, sambil menitihkan air mata.
“Saya ingin segera mendonorkan ginjal saya. Saya baru
tahu kemarin bahwa Eza sakit parah dan saya terus mencari info di mana dan sakit apa yang dideritanya, karena saya
berjanji akan melakukan satu hal yang sama seperti yang
dia lakukan.”
“Apa Mas Rendy sudah benar-benar yakin ingin
mendonorkan ginjalnya?” tanyaku yang Masih tidak percaya.
“InsyaAllah, saya yakin.”
“Baiklah. Saya tidak tahu mau bilang apa lagi kepada mas Rendy. Saya sangat berterimakasih banyak sekali semoga Allah membalasnya. Saya sangat berhutang nyawa
ke Mas Rendy.”
“Tidak perlu seperti itu, Bu.”
Aku bersalaman, tetapi dia langsung mempraktekannya
lengan di depan dadanya. Aku tersenyum dan langsung menyiapkan berbagai berkas untuk operasinya nanti.
Tiba Masanya, lima jam operasi berlangsung dan
alhamdulillah berjalan dengan lancar. Butuh satu bulan mas Eza pulih pada operasi dan semuanya. Tubuhnya kembali
terisi, bicaranya kembali normal.
Aku begitu bersyukur atas semuanya, terkhusus kepada mas Rendy yang sudah mendonorkan ginjalnya. Setelah mas Eza
pulih aku membicarakan hal itu kepada Mas Eza.
“Mas temanmu begitu baik sudah mendonorkan
ginjalnya kepadamu,” ucapku sambil mendekap Mas Eza
yang sudah kembali seperti dulu.
“Teman yang mana, Sayang?” tanya Mas Eza
kebingungan.
“Namanya Rendy, Mas.”
“Rendy!” tegasnya.
“Iya, Mas. Dia begitu gagah dan pasti memiliki hati
yang begitu baik. Sudah bersedia memberikan ginjalnya
kepadamu.”
“Tapi, aku tidak mengenal dia, Sayang.” Mas Eza seperti
kaget dan kebingungan.
“Lalu, dia siapa?” tanyaku ke Mas Eza.
“Aku tidak tahu. Mungkin dia seseorang yang dikirim
Allah. Kamu istri yang begitu baik, doamu terdengar dan dia
datang tanpa ada apa pun yang menghalang,” jelas Mas Eza
membuatku merenung.
Aku hanya bisa bersyukur dan sangat yakin, jika
melakukan segala halnya karena Allah. Maka Allah akan
menolong dengan caranya.
“Ana Uhibuka Fillah, Mas.” Aku mengecup tangan mas Eza.
Mas Eza begitu bahagia, terlihat dari raut wajahnya
yang berseri.
Dia mengecup keningku. “Ana Uhibuka Fillah, Istriku.
Terima kasih sudah mendampingi aku selama ini. Mas begitu beruntung mendapatkanmu.”
Keyakinanku tidak pernah luntur dalam setiap halnya kepada Allah, bahkan di detik-detik terakhir perjuangan
merawat mas Eza, aku yakin akan setiap ketetapan yang sudah Allah atur. Bahwa apa pun, itulah yang terbaik dan
aku sangat bahagia bisa mempertahankan rumah tangga walaupun ujian perpisahan datang menerpa.
Komentar
Posting Komentar